Beberapa sahabat yang bertanya bagaimana mungkin
aku yang super ego untuk hampir segala hal, takluk ketika yang kuhadapi urusan
anak-anak. Aku acapkali menjawab “ketika
aku memutuskan untuk menikah dan melahirkan anak-anak kami, maka delapan puluh
persen dari hakku sebagai seorang
perempuan menjadi kewajibanku sebagai seorang ibu”.
Aku akan mencoba mengulas
dengan sederhana mengenai kewajiban
sebagai ibu bagi seorang perempuan, semoga ada hikmah
untuk kita semua.
Tugas
seorang ibu merupakan tugas yang sangat penting. Ibu merupakan “tiang rumah
tangga” amatlah penting bagi terselenggaranya rumah tangga yang sakinah yaitu
keluarga yang sehat dan bahagia, membuat rumah tangga menjadi surga bagi suami dan anak-anaknya, menjadi
mitra sejajar yang saling menyayangi bagi suaminya. Untuk mencapai ketentraman
dan kebahagian dalam keluarga dibutuhkan isteri yang shaleh, yang dapat menjaga
suami dan anak-anaknya, serta dapat mengatur keadaan rumah sehingga tempat
rapih, menyenangkan, memikat hati seluruh anggota keluarga. Menurut Baqir
Sharif al-Qarashi (2003:64), para ibu merupakan
sekolah yang paling
utama dalam pembentukan kepribadian anak.
Ibu bertanggungjawab
terhadap mental dan sosial dalam
pencapaian kesempurnaan serta pertumbuhan anak yang baik dan benar.
Sejumlah
kegagalan yang terjadi diakibatkan oleh pemisahan perempuan dari fungsi-fungsi
dasar mereka. Ibu yang
sering berada di luar rumah yang hanya menyisakan sedikit waktu untuk anak-anak
telah menghilangkan kebahagian anak, menghalangi anak dari merasakan nikmatnya
kasih sayang ibu, sebab mereka menjalankan berbagai pekerjaan di luar serta
meninggalkan anak disebagian besar waktunya. Meng-subkontak-kan kewajibannya pada nanny, pembantu, ibu, para guru di
sekolah ataupun di tempat les.
Menjadi seorang ibu
bukanlah tugas yang mudah. Berbagai persoalan pelik kadang membelitnya. Ia
harus menjadi perempuan penyabar dan penyayang, memprioritaskan kebutuhan
anak-anaknya. Meskipun bukan berarti bahwa demi anak, seorang ibu harus
mengabaikan kebutuhan dirinya, meninggalkan segala kenikmatan Allah dalam
kehidupan untuk mencurahkan perhatiannya semata-mata untuk sang suami dan anak.
Namun, aku akui bahwa tugas
kaum ibu yang sangat berat menuntut pengorbanan sejumlah hal demi masa depan
anak-anaknya.
Menurutku perempuan yang
mengkonsentrasikan diri mengurus rumah adalah
perempuan sejati, yang mampu mengangkat harkat dan martabat dirinya di hadapan
suami dan anak-anaknya. Seorang perempuan yang betul-betul memperhatikan
kepentingan anaknya bukanlah kaum ibu yang
biasa-biasa saja, bukan sekedar ibu
Rumah Tangga. Dan mengurus kepentingan anak bukanlah sebuah bentuk pengabdian dan
tidak akan mendorong pada kebinasaan. Melainkan kewajiban fitrah yang
semestinya dilaksanakan.
Peran seorang ibu sangat penting,
mencakup pemenuhan kewajiban material dan spiritual. Seorang ibu harus selalu
sibuk memikirkan dan membuat perencanaan untuk mendidik anaknya secara lebih
baik dan berusaha menyelaraskan antara keinginannya sebagai perempuan, ibu dan
istri dalam hal pemenuhan kebutuhan-kebutuhan. Seorang ibu juga harus
mengetahui hal-hal apa saja yang harus diajarkan dan hal-hal apa yang tidak
boleh diajarkan kepada sang anak. Itu dimaksudkan tak lain untuk kebaikan sang
anak sendiri. Rasa tanggung jawabnya yang besar dan kesadarannya yang tinggi
sebagai seorang ibu, membuatnya dengan cepat menyadari bahwa dalam dunia
pendidikan, tak ada sesuatu pun yang dianggap tidak penting. Karena itu,
seorang ibu yang baik tidak pernah memandang remeh kewajiban pendidikan anak
tersebut. Dengan kata lain, kaum ibu harus berusaha menyelesaikan masalah
pendidikan anak secara bersungguh-sungguh.
Aku sendiri berusaha yang terbaik untuk anak-anak
kami, apapun akan kulakukan untuk
anak-anak kami. Menyiapkan makanan
mereka sehari-hari dengan tanganku sendiri dan membantu mereka dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang dihadapi anak-anak kami. Mendampingi mereka di waktu-waktu
utamaku, bukan sisa waktuku ketika aku sudah
begitu kelelahan beraktivitas untuk kepentingan pribadiku. Aku menyadari, karir, sekolah dan mencari nafkah bukan lagi kewajibanku. Aku tidak ingin lagi mengejarnya, bukan
masaku lagi. Masaku kini hanya untuk
anak-anak kami. Aku selalu mendoakan anak-anak
kami agar menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah, punya harga diri dan
bermanfaat bagi orang-orang di sekilingnya. Aku hanya berupaya dengan
keyakinanan penuh bahwa Allah SWT akan mengabulkan harapan dan doa-doaku buat
anak-anak kami.